Monday, 27 July 2015

Opini UN

LELANG KEPALA SEKOLAH, PEMILU, DAN UJIAN NASIONAL
DALAM PERSPEKTIF KUALITAS PENDIDIKAN
Oleh: Suryanto, S.Pd *

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara. Dan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu juga pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Nomor 20 Tahun 2003, Sisdiknas).

Dari uraian yang disampaikan, nyatalah ada beberapa indikator untuk menyatakan bahwa kualitas pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia adalah : 1) pendidikan yang mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menumbuhkan potensi diri para peserta didik; 2) pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia; dan 3) mampu menjadikan sebagai warga negara yang beriman bertaqwa, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri, demokratis serta bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. Semoga ini semua bukan menjadi dongeng semata dan hanya sebatas mimpi, tapi menjadi hal yang nyata yang dapat diwujudkan.



Lalu apa yang telah tercapai dengan kualitas pendidikan kita ? Hingga peringatan kemerdekaan kita yang telah terlewati enam puluh delapan tahun ini dan berganti presiden hingga enam menjelang tujuh kali ini (era Soekarno hingga era SBY) dan juga dengan bergantinya kurikulum hampir tujuh kalinyatanya kualitas pendidikan kita belum begitu menghasilkan kualitas yang baik. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwasannya ada 8 Standar Nasional Pendidikan untuk menjadikan pendidikan kita berkualitas,   yaitu : 1) Standar Isi,  2) Standar Proses, 3) Standar Kompetensi Lulusan, 4) Standar Tenaga Pendidikan dan Kependidikan, 5) Standar Sarana Prasaran, 6) Standar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan, dan 8) Standar Penilaian. Sampai dimana batas ketercapaiannya apakah semakin maju atau semakin mundur, belum ada lembaga resmi yang menyatakannya, apakah dari segi  pencapaian kuantitas maupun kualitas semuanya masih dalam proses. Kenaikan anggaran pendidikan nyatanya masih belum juga secara signifikan berkorelasi dengan meningkatnya mutu pendidikan. Ibarat kata anggaran pendidikan bergerak naik secara cepat namun kualitas pendidikan  hanya naik dengan bergerak lambat. Lalu apa yang salah dan kurang dengan manajemen pendidikan kita ? Dan bagaimana kaitannya dengan pelaksanaan Lelang Kepala Sekolah, Pemilu, dan Ujian Nasional. Akankah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan kita ke depan.

Sebagai gambaran sekilas tentang beberapa permasalahan belum tercapainya kualitas pendidikan di negara kita antara lains ebagai berikut :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, masih banyak sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru, khususnya di daerah maupun daerah tertinggal.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dan disinyalir masih banyak guru yang terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Dan di beberapa daerah masih ada yang tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan guru dan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Dan masih banyak anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (Wajar 9 Tahun). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur, dan setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja, meskipun saat ini sudah banyak didirikan sanggar-sanggat kegiatan belajar, dan pendidikan luar sekolah, namun nyatanya masih belum berkorelasi terhadap tuntutan dunia kerja dan dunia industri.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah” masih bnayak terjadi. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu: Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan nasional dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Pancasila yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara. Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Apakah dengan pelaksanaan lelang Kepala Sekolah yang sekarang ini dilakukan (khususnya untuk DKI Jakarta) akan mampu mewujudkan solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kita ketahui berdasarkan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah dijelaskan bahwa, “ Untuk diangkat menjadi Kepala Sekolah/Madrasah, seseorang wajib memenuhi standar kepala sekolah/madrasah yang berlaku nasional, salah satu diantaranya yaitu memiliki standar kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervise, dan sosial.” Tidak semata memiliki kualifikasi secara umum namun juga kualifikasi khusus. Karena Kepala Sekolah merupakan tugas tambahan guru, maka sudah semestinya mereka yang ingin menjadi seorang Kepala Sekolah juga lebih diutamakan memiliki kualifikasi khusus (Lihat lampiran Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007). Bagaimana dengan pelaksanaan lelang Kepala Sekolah yang baru-baru ini dilaksanakan ? Dari kriteria yang dipersyaratkan nyatanya masih mengacu kepada kualifikasi secara umum. Semoga kita masih dalam koridor “positive thingking “, dalam artian bahwa pelaksanaan lelang ini semata-mata ingin menjadi salah satu alternative dalam pencarian sosok Kepala Sekolah yang kredibel (baik dan berkualitas) dan tidak menganggap bahwa pelaksanaan pemilihan Kepala Sekolah sebelumnya tidak dilakukan dengan baik atau tidak selektif. Kalau demikian adanya semoga segala kekurangan atau kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan lelang dapat diperbaiki untuk ke depannya. Sehingga dengan tuntutan kualifikasi Kepala Sekolah secara umum dan khusus dan pemenuhan dimensi kompetensi yang memadai kita berharap mendapatkan Kepala Sekolah yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan di satuan pendidikannya.

Berselang dengan pelaksanaan lelang Kepala Sekolah yang sudah dilaksanakan pada bulan Januari 2014 lalu, bulan April 2014 mendatang kita juga akan melaksanakan pemilihan umum untuk legislatif (calon anggaota DPR, DPRD TK.I dan DPRD Tk. II) yang sudah tentu akan memberikan dampak dan pengaruh situasi dan kondisi kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah. Bagaimana tidak, masa kampanye dengan bertambahnya pemilih-pemilih muda/mula merupakan objek yang menjadi sasaran bagi segenap partai politik untuk mencari dukungan, yang terkadang mengikutsertakan para pelajar atau pemilih mula untuk melaksanakan kampanye dan pemaksaan untuk memilih.  Banyak janji-janji yang diumbar yang menebarkan pesona tentang “pendidikan gratis” namun kenyataannya janji tinggal janji, “lidah tak bertulang”,. Program-program pengentasan permasalahan pendidikan tak lagi menjadi bahasan utama ketika mereka telah menjadi wakil rakyat, yang menjadi prioritas hanya bagaimana dapat mengembalikan modal kampanye sebanyak-banyaknya. Marilah kita lebih kritis dan lebih selektif lagi untuk memilih para wakil rakyat pada pemilu mendatang. Agar aspirasi kita dalam komunitas pendidikan dapat membawa angin segar perubahan yang lebih baik lagi, khususnya dalam mengatasi segala permasalahan pendidikan yang masih membelenggu kualitas pendidikan negeri ini.

Pelaksanaan Ujian Nasional adalah perhelatan akbar komunitas pendidikan yang dilaksanakan setiap tahun. Untuk tahun ini rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 14, 15, dan 16 April 2014 secara serentak untuk tingkat SMA/SMK/MA. Banyak dampak yang akan dirasakan tidak saja oleh segenap satuan pendidikan dari mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas namun juga oleh dinas pendidikan terkait, pengawas sekolah, Kepala Sekolah, orangtua/wali siswa, keluarga, kerabat, maupun siswa sendiri. Karena dengan tidak lulus Ujian Nasional maka dimungkinkan siswa yang bersangkutan tidak dapat dinyatakan lulus dari satuan pendidikan tempatnya belajar. Meskipun sudah dibantu dengan adanya “ Nilai Raport dan Nilai Ujian Sekolah “, tetap saja Ujian Nasional menjadi “hantu siang bolong yang menakutkan”. Semestinya tidak seperti itu adanya, karena menurut penjelasan di dalam POS Ujian Nasional, jelas dinyatakan bahwa, “ Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, SMK/MAK yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian standar kompetensi lulusan SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, SMK/MAK secara nasional meliputi mata pelajaran tertentu.” Memang seharusnya hanya menjadi suatu kegiatan pengukuran dan penilaian semata pada setiap satuan pendidikan, namun kenyataannya UN menjadi alat penjagal dan terror masa depan para siswa. Dampak yang terjadi bagi siswa, guru, kepala Sekolah, orangtua/wali yang memiliki motivasi positif, maka akan mempersiapkan sebaik mungkin menghadapi Ujian Nasional dengan belajar dan berlatih soal-soal UN sebelumnya, dengan kegiatan penambahan jam belajar atau pendalaman materi. Kebalikan dengan mereka yang memiliki motivasi negatif, maka berbagai cara dan metode yang tidak halal, yang semestinya tidak dilakukan menjadi solusi instan untuk meraih kelulusan. Jadi jangan heran, kalau masih ada kegiatan jual beli soal, kegiatan joki, bahkan kegiatan mendatangi paranormal.


Kegiatan UN yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjawab segala permasalahan pendidikan yang sedang terjadi, menghasilkan lulusan yang cerdas, cakap, kreatif, produktif, dan mandiri, didasari dengan iman dan taqwa, berajgkak mulia, demokratis dan bertanggung jawab kenyataannya masih menghasilkan para lulusan yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih kelulusan. Semoga saja di tahun 2014 ini pelaksanaan Ujian Nasional menjadi Ujian Nasional yang bersih, jujur, dan berkualitas.


Akhirnya penulis hanya mampu mengajak kepada segenap komunitas pendidikan dan mereka yang peduli dengan pendidikan bangsa ini, bahwa pelaksanaan kegiatan lelang Kepala Sekolah, pemilu, dan Ujian Nasional di tahun 2014 ini benar-benar mampu menghasilkan perbaikan-perbaikan yang diupayakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga bangsa kita ke depan tidak hanya mampu menghasilkan tenaga kerja-tenaga kerja sekelas pembantu untuk dikirim ke luar negeri dan tenaga kerja-tenaga kerja sekelas buruh yang tertindas UMR dan keserakahan kapitalis. Dengan Kepala Sekolah hasil lelang, dengan para wakil rakyat yang terpilih pada pemilu mendatang, dan bagi para pelaksana Ujian Nasional kita semua berharap pendidikan Indonesia adalah Pendidikan yang berkualitas dan Pendidikan yang peduli pada kecerdasan rakyatnya. Amiiin YRA. (Penulis adalah Guru SMK Negeri 54 Jakarta)

No comments:

Post a Comment

Tugas 4. Memahami Prinsip Prinsip Pengendalian Kontaminasi

Tugas 4. Memahami Prinsip Prinsip Pengendalian Kontaminasi Tugas untuk siswa  Kelas X TKR1  dan X TBSM pada mata pelajaran TDO. Saksikan vi...