LELANG KEPALA SEKOLAH, PEMILU, DAN UJIAN NASIONAL
DALAM PERSPEKTIF KUALITAS PENDIDIKAN
Oleh: Suryanto, S.Pd *
Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
Negara. Dan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Selain itu juga pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Nomor 20 Tahun 2003,
Sisdiknas).
Dari uraian yang disampaikan, nyatalah ada beberapa indikator untuk
menyatakan bahwa kualitas pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia
adalah : 1) pendidikan yang mampu mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran yang menumbuhkan potensi diri para peserta didik; 2) pendidikan
yang berdasarkan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia serta berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional
Indonesia; dan 3) mampu menjadikan sebagai warga negara yang beriman bertaqwa,
berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri, demokratis serta bertanggung jawab
dengan apa yang dilakukannya. Semoga ini semua bukan menjadi dongeng semata dan
hanya sebatas mimpi, tapi menjadi hal yang nyata yang dapat diwujudkan.
Lalu apa yang telah tercapai dengan kualitas pendidikan kita ? Hingga
peringatan kemerdekaan kita yang telah terlewati enam puluh delapan tahun ini dan berganti presiden hingga enam menjelang tujuh kali ini (era Soekarno hingga era SBY) dan juga
dengan bergantinya kurikulum hampir tujuh kalinyatanya kualitas pendidikan kita
belum begitu menghasilkan kualitas yang baik. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan dinyatakan bahwasannya ada 8 Standar Nasional Pendidikan untuk
menjadikan pendidikan kita berkualitas,
yaitu : 1) Standar Isi, 2) Standar Proses, 3) Standar Kompetensi
Lulusan, 4) Standar Tenaga Pendidikan dan Kependidikan, 5) Standar Sarana
Prasaran, 6) Standar Pengelolaan, 7)
Standar Pembiayaan, dan 8) Standar Penilaian. Sampai dimana batas
ketercapaiannya apakah semakin maju atau
semakin mundur, belum ada lembaga
resmi yang menyatakannya, apakah dari segi
pencapaian kuantitas maupun kualitas semuanya masih dalam proses.
Kenaikan anggaran pendidikan nyatanya masih belum juga secara signifikan
berkorelasi dengan meningkatnya mutu pendidikan. Ibarat kata anggaran
pendidikan bergerak naik secara cepat namun kualitas pendidikan hanya naik dengan bergerak lambat. Lalu apa
yang salah dan kurang dengan manajemen pendidikan kita ? Dan bagaimana
kaitannya dengan pelaksanaan Lelang Kepala Sekolah, Pemilu,
dan Ujian Nasional. Akankah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kualitas pendidikan kita ke depan.
Sebagai gambaran sekilas tentang beberapa permasalahan belum tercapainya
kualitas pendidikan di negara kita antara lains ebagai berikut :
1. Rendahnya Kualitas
Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, masih banyak sekolah
dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium
tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas
Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal
39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu
saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru, khususnya di daerah maupun daerah tertinggal.
3. Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dan disinyalir masih banyak
guru yang terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di
sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie
rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dengan adanya
UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri
menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Dan di beberapa daerah masih
ada yang tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan guru dan dosen sesuai
dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi
Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Dan masih banyak anak-anak Indonesia
ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit
sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan
ganda.
5. Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas
pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (Wajar 9 Tahun).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber
daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi
Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan
yang menganggur, dan setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan
tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja,
meskipun saat ini sudah banyak didirikan sanggar-sanggat kegiatan belajar, dan
pendidikan luar sekolah, namun nyatanya masih belum berkorelasi terhadap tuntutan
dunia kerja dan dunia industri.
7. Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering
muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak
memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di
Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan
organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha
memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah” masih bnayak terjadi. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk
dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah
beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara
garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu: Pertama, solusi sistemik,
yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme),
yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam
urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Maka, solusi untuk masalah-masalah
yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya
sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti
menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif
kita menerapkan sistem pendidikan nasional dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan
diganti dengan sistem ekonomi Pancasila yang menggariskan bahwa pemerintah-lah
yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara. Kedua, solusi teknis,
yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan
prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada
upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya
kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan,
juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas
guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan
sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Apakah dengan pelaksanaan lelang Kepala Sekolah yang sekarang ini dilakukan (khususnya
untuk DKI Jakarta) akan mampu
mewujudkan solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kita ketahui
berdasarkan Permendiknas Nomor 13 Tahun
2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah dijelaskan bahwa, “ Untuk
diangkat menjadi Kepala Sekolah/Madrasah, seseorang wajib memenuhi standar
kepala sekolah/madrasah yang berlaku nasional, salah satu diantaranya yaitu
memiliki standar kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervise,
dan sosial.” Tidak semata memiliki kualifikasi secara umum namun juga
kualifikasi khusus. Karena Kepala Sekolah merupakan tugas tambahan guru, maka
sudah semestinya mereka yang ingin menjadi seorang Kepala Sekolah juga lebih
diutamakan memiliki kualifikasi khusus (Lihat
lampiran Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007). Bagaimana dengan pelaksanaan
lelang Kepala Sekolah yang baru-baru ini dilaksanakan ? Dari kriteria yang
dipersyaratkan nyatanya masih mengacu kepada kualifikasi secara umum. Semoga kita
masih dalam koridor “positive thingking “,
dalam artian bahwa pelaksanaan lelang ini semata-mata ingin menjadi salah satu
alternative dalam pencarian sosok Kepala Sekolah yang kredibel (baik dan
berkualitas) dan tidak menganggap bahwa pelaksanaan pemilihan Kepala Sekolah
sebelumnya tidak dilakukan dengan baik atau tidak selektif. Kalau demikian
adanya semoga segala kekurangan atau kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan
lelang dapat diperbaiki untuk ke depannya. Sehingga dengan tuntutan kualifikasi
Kepala Sekolah secara umum dan khusus dan pemenuhan dimensi kompetensi yang
memadai kita berharap mendapatkan Kepala Sekolah yang mampu meningkatkan
kualitas pendidikan di satuan pendidikannya.
Berselang dengan pelaksanaan lelang Kepala Sekolah yang sudah dilaksanakan pada bulan Januari 2014 lalu, bulan April 2014 mendatang kita juga akan melaksanakan pemilihan umum untuk legislatif
(calon anggaota DPR, DPRD TK.I dan DPRD Tk. II) yang sudah tentu akan
memberikan dampak dan pengaruh situasi dan kondisi kegiatan pembelajaran di
sekolah-sekolah. Bagaimana tidak, masa kampanye dengan bertambahnya
pemilih-pemilih muda/mula merupakan objek yang menjadi sasaran bagi segenap
partai politik untuk mencari dukungan, yang terkadang mengikutsertakan para
pelajar atau pemilih mula untuk melaksanakan kampanye dan pemaksaan untuk
memilih. Banyak janji-janji yang diumbar
yang menebarkan pesona tentang “pendidikan
gratis” namun kenyataannya janji tinggal janji, “lidah tak bertulang”,. Program-program pengentasan permasalahan
pendidikan tak lagi menjadi bahasan utama ketika mereka telah menjadi wakil
rakyat, yang menjadi prioritas hanya bagaimana dapat mengembalikan modal
kampanye sebanyak-banyaknya. Marilah kita lebih
kritis dan lebih selektif lagi untuk memilih para wakil rakyat pada pemilu
mendatang. Agar aspirasi kita dalam komunitas pendidikan dapat membawa angin
segar perubahan yang lebih baik lagi, khususnya dalam mengatasi segala
permasalahan pendidikan yang masih membelenggu kualitas pendidikan negeri ini.
Pelaksanaan Ujian Nasional adalah perhelatan akbar komunitas pendidikan
yang dilaksanakan setiap tahun. Untuk tahun ini rencananya akan dilaksanakan
pada tanggal 14, 15, dan 16 April 2014 secara serentak untuk tingkat
SMA/SMK/MA. Banyak dampak yang akan dirasakan tidak saja oleh segenap satuan
pendidikan dari mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas namun
juga oleh dinas pendidikan terkait, pengawas sekolah, Kepala Sekolah, orangtua/wali
siswa, keluarga, kerabat, maupun siswa sendiri. Karena dengan tidak lulus Ujian
Nasional maka dimungkinkan siswa yang bersangkutan tidak dapat dinyatakan lulus
dari satuan pendidikan tempatnya belajar. Meskipun sudah dibantu dengan adanya
“ Nilai Raport dan Nilai Ujian Sekolah
“, tetap saja Ujian Nasional menjadi “hantu
siang bolong yang menakutkan”. Semestinya tidak seperti itu adanya, karena
menurut penjelasan di dalam POS Ujian Nasional, jelas dinyatakan bahwa, “ Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA,
SMALB, SMK/MAK yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian pencapaian standar kompetensi lulusan SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB,
SMK/MAK secara nasional meliputi mata pelajaran tertentu.” Memang seharusnya
hanya menjadi suatu kegiatan pengukuran dan penilaian semata pada setiap satuan
pendidikan, namun kenyataannya UN menjadi “alat penjagal dan terror” masa depan para siswa. Dampak
yang terjadi bagi siswa, guru, kepala Sekolah, orangtua/wali yang memiliki
motivasi positif, maka akan mempersiapkan sebaik mungkin menghadapi Ujian
Nasional dengan belajar dan berlatih soal-soal UN sebelumnya, dengan kegiatan
penambahan jam belajar atau pendalaman materi. Kebalikan dengan mereka yang
memiliki motivasi negatif, maka berbagai cara dan metode yang
tidak halal, yang semestinya tidak dilakukan menjadi solusi instan untuk meraih
kelulusan. Jadi jangan heran, kalau masih ada kegiatan jual beli soal, kegiatan
joki, bahkan kegiatan mendatangi paranormal.
Kegiatan UN yang seharusnya sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan menjawab segala permasalahan pendidikan yang
sedang terjadi, menghasilkan lulusan yang cerdas, cakap, kreatif, produktif,
dan mandiri, didasari dengan iman dan taqwa, berajgkak mulia, demokratis dan
bertanggung jawab kenyataannya masih menghasilkan para lulusan yang
menghalalkan berbagai cara untuk meraih kelulusan. Semoga saja di tahun 2014
ini pelaksanaan Ujian Nasional menjadi Ujian Nasional yang bersih, jujur, dan
berkualitas.
Akhirnya penulis hanya mampu mengajak kepada segenap
komunitas pendidikan dan mereka yang peduli dengan pendidikan bangsa ini, bahwa
pelaksanaan kegiatan lelang Kepala Sekolah, pemilu, dan Ujian Nasional di tahun
2014 ini benar-benar mampu menghasilkan perbaikan-perbaikan yang diupayakan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga bangsa kita ke depan tidak
hanya mampu menghasilkan tenaga kerja-tenaga kerja sekelas pembantu untuk
dikirim ke luar negeri dan tenaga kerja-tenaga kerja sekelas buruh yang
tertindas UMR dan keserakahan kapitalis. Dengan Kepala Sekolah hasil lelang,
dengan para wakil rakyat yang terpilih pada pemilu mendatang, dan bagi para
pelaksana Ujian Nasional kita semua berharap pendidikan Indonesia adalah
Pendidikan yang berkualitas dan Pendidikan yang peduli pada kecerdasan
rakyatnya. Amiiin YRA. (Penulis adalah
Guru SMK Negeri 54 Jakarta)
No comments:
Post a Comment