oleh: Suryanto, S.Pd
Menjadi bangsa yang merdeka adalah menjadi bangsa yang dapat menghargai kemerdekaan bangsanya. Mengisi dengan segala karya dan prestasi hingga menjadi bangsa yang besar yang dihargai dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Dihargai dan dihormati bukan karena maksud ingin memanfaatkan kebodohan dan kemiskinan rakyatnya. Dihargai dan dihormati bukan karena ingin mencuri potensi sumber daya alam yang menurut kabarnya bahwa tanah air kita bagaikan ‘ zamrud di katulistiwa’ serta ‘ genah ripah loh jinawi’ namun karena timbul dari keinginan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara lain di dunia.
Perkembangan dan kemajuan era globalisasi yang salah satunya ditengarai oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ( IPTEK ) di berbagai industrialisasi, perkembangan ekonomi, dan informasi yang sedemikian cepat memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya kategori invansi dan intervensi pada negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang. Menyadari perkembangan kemajuan era industrialisasi yang dibarengi dengan gencarnya arus informasi mendorong munculnya persepsi knowledge is power (Drucker, 1989:237). Oleh karenanya harus diyakini bahwa kebutuhan terhadap pendidikan adalah suatu hal yang amat penting, baik yang bersifat pendidikan formal maupun nonformal. Perkembangan pusat-pusat infomasi baik yang melalui media elektronik maupun cetak dari dalam maupun luar negeri dengan mudah dapat diperoleh. Realitas ini menciptakan ketidakberpihakan antara yang menguasai dan tidak menguasai knowledge. Hal ini menjadi sangat penting ketika menyangkut akses, alokasi, serta distribusi sumber-sumber informasi bagi kebutuhan rakyatnya. Disadari bahwa akar masalahnya terletak pada bukan saja siapa yang mempunyai akses terhadap sumber informasi, tetapi juga adalah mekanisme dan strategi implementasi pelaksanaanya dan tidak hanya sebatas jargon maupun konsep teori. Kebutuhan dan kesadaran akan hal ini sangat penting dan mendesak, karena seperti kata Drucker (1989:239) kita juga mengetahui bahwa knowledge workers tidak hanya semata menjadi leaders tetapi juga rulers yang mempengaruhi the forces of change.
Secara esensial salah satu tanggung jawab dari pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional dalam transformasi sosial yang tengah berlangsung tak lain adalah dengan menanamkan dan mengoperasikan ethos, nilai, dan moralitas bangsa dalam menerima dan mengelola informasi yang silih berganti menjadi aset dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan bangsanya. Dalam design pembelajaran secara eksplisit adalah dengan proses membuka peluang secara lebar terhadap penggunaan kemampuan nalar dalam mengelola dan mengambil keputusan terhadap perubahan yang dihadapi yang semuanya tersaji dalam bentuk integralistik dalam pendidikan, sehingga menjadikan knowledge people have to learn to take responsibility.
Terkait dengan pernyataan tersebut, sejak tanggal 8 Juli 2003 pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang dianggap sudah tidak memadai lagi. Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasioanal dilakukan untuk memperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut secara tegas memperkuat dan menekankan tentang amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 tentang pendidikan yang intinya tercapainya kesempatan pendidikan bagi rakyat dan terlaksananya pencapaian pembangunan manusia Indonsia seutuhnya, spiritual, intelektual, fisik, dan mental.
Secara retorik kedua ayat tersebut, telah cukup dapat dipergunakan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pendidikan yakni diberinya peluang bahkan dalam batas tertentu diberikan kebebasan, kepada keluarga dan masyarakat dalam hal penyelenggara pendidikan untuk mendapatkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan kondisi dan tuntuan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan perlu ditiadakan, dikurangi atau setidaknya terjadi peninjauan kembali terhadap hal-hal yang sudah tidak relevan.
Dalam kaitannya dengan masyarakat belajar (leraning society) perlu diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk dapat memilih belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan falsafah negara. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan prinsip belajar seumur hidup. Mungkin selama ini memang kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan telah menuju pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga secara konseptual pemerintah telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Namun secara realitas masih cukup banyak diantara kelompok usia sekolah yang tidak/belum dapat menikmati pendidikan karena alasan tertentu baik karena ketidakterjangkauan biaya, tempat maupun kesempatan, sehingga hak mereka seolah-olah “terampas” dengan sendirinya. Ditambah lagi dengan masih belum optimalnya pelaksana penyelenggara pendidikan dalam membangun nilai-nilai pendidikan yang mewujudkan kesadaran keimanan ketaqwaan dan moralitas jiwa kebangsaan rakyatnya.
Membangun Nilai Ketagwaan
Guru dan Kurikulum pada setiap tingkat pendidikan disadari bahwa secara konseptual pemahaman terhadap kurikulum mendapatkan pemaknaan yang sangat beragam. Para pakar kurikulum pun memberikan jawaban yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandang kajian maupun aspek materinya yang sedemikian luas untuk dapat dijelajahi. Bahkan dari hal-hal yang paling konkret hingga yang paling abstrak sekalipun dapat dijadikan semacam argumen dalam memberikan pemaknaan terhadap kurikulum maupun implementasinya. Walau demikian, hal yang secara substansial perlu dicermati dan dijaga adalah adanya upaya pencegahan, sehingga tidak terjadi proses simplifikasi pemahaman terhadap makna kurikulum itu sendiri. Terjadinya keterjerumusan kita pada miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum antara lain sebagai akibat dari proses simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, sehingga terjebak memaknai kurikulum dalam arti yang sangat sempit. Sehubungan dengan ini, hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancangbangun kurikulum pendidikan baik di tingkat dasar, menengah maupun tinggi untuk masa depan adalah dengan bersandar pada upaya merealisasikan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang diawali dengan nilai keimanan dan ketaqwaan.
Memandang kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa, mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Pengertian ini cenderung lebih konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa seperti halnya tujuan belajar, semata hanya seperangkat konsep yang harus dikuasai dalam prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara pandang seperti ini menjadi berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang sekedar produk semata yang secara “ritual” harus diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural baik di sekolah maupun di masyarakat, (2) menyusun kurikulum menjadi lebih kurang manageable baik dari segi scope maupun sequennya. Sehingga timbul kelemahan adanya kesulitan bagi para guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa dan cara mempelajarinya apalagi dengan jumlah jam yang relatif sangat sempit pada mata pelajaran maupun mata kuliah pendidikan agama.
Sudah semestinya pemaknaan kurikulum adalah sebagai pengalaman belajar, yang pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat jelas dari dua pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi belajar yang telah direncanakan. Sebagai konsekuensinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya sebaik apapun kurikulumnya bila tidak didukung oleh guru yang profesional dan memiliki suri tauladan keimanan dan ketaqwaan tentu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya.
Membangun Jiwa Kebangsaan ( Nasionalisme )
Ketika menjalankan fungsinya, pendidikan bersandar pada dua dimensi asasi, yaitu tabiat individu dan lingkungan sosialnya. Kepribadian individu berkembang dan terbentuk tidak lain merupakan hasil dari terjadinya interaksi antara tabiat (nature) kemanusiaannya dan faktor-faktor lingkungan artinya, tingkah laku atau dapat di katakan kepribadian seseorang merupakan produk interaksi antara tabiat dan lingkungan sosialnya. Hal ini merupakan karakteristik perjalanan dari proses pendidikan, tanpa adanya interaksi tersebut pendidikan tidak akan dapat berfungsi sebagai mana mestinya, oleh sebab itu di dalam pembentukan kepribadian seseorang perlu ada fleksibilitas dan elastisitas yang memungkinkan terjadinya pembentukan kepribadian seseorang secara benar.
Hery Noer Aly dan H. Munzier S ( 2000 : 176 ) berpendapat, “ bahwa infleksibilitas lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian.” Adapun yang dimaksud dengan infleksibilitas lingkungan adalah sejauh mana lingkungan bertentangan dengan kebutuhan dan tuntutan pribadi seseorang. Seseorang atau individu manusia akan hidup dalam kondisi harmonis bersama lingkungannya baik didalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, bila selama lingkungan itu mampu memenuhi kebutuhannya, baik psikis maupun fisik. Namun apabila lingkungan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi ketidakharmonisan antara seseorang dan lingkungannya, implikasinya seseorang akan berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengembalikan keharmonisan tersebut atau mungkin mengabaikannya.
Pendidikan secara umum disadari merupakan urat nadi kehidupan seseorang dan masyarakatnya. Sebesar apapun yang telah diberikan oleh pendidikan, maka akan sebesar itu pula nilainya didalam mendidik seseorang dan dalam membentuk kepribadiannya. Ada anggapan dasar bahwa kerja sama antara keluarga dan sekolah merupakan urgensi kependidikan dan keduanya berintegrasi saling melengkapi dan menguatkan dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan norma-norma kehidupan berbangsa dan bernegara.
Realitas di lapangan dihadapkan pada permasalahan bahwa pendidikan nasional di negara kita dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Sedikitnya ada enam masalah pokok sistem pendidikan nasional sistem pendidikan nasional : (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik; (2) pemerataan kesempatan belajar; (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan; (4) status kelembagaan; (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional; (6) sumber daya yang belum profesional. Dengan realitas ini menjadikan gambaran bahwa kita semakin banyak mengalami krisis, keterpurukan dan keprihatinan akan masa depan persatuan dan kesatuan bangsa karena banyak timbulnya gejolak sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya. Membangun kesadaran jiwa kebangsaan ( Nasionalisme Indonesia ) adalah hal yang mudah untuk dilisankan dan terlalu sukar untuk dipraktekkan. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang relatif sempit hampir di setiap lini pendidikan memang bukan menjadikan suatu alasan. Namun akan lebih diutamakan dan yang lebih penting adalah membuat cermin pada segenap komponen yang terlibat dalam pendidikan memberikan contoh dan suri tauladan pribadi yang memiliki jiwa kebangsaan dan rasa kebanggaan menjadi bangsa Indonesia serta pengalaman belajar yang memberikan benih-benih nilai kebangsaan. Kebanggan menjadi bangsa Indonesia adalah kebanggan untuk dapat membuktikan diri dalam hal karya dan prestasi serta mampu memberikan manfaat yang terbaik bagi tanah airnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga akan tanah airnya. Banyak rakyat di negeri ini yang berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin; kecuali ketua RT; yang senantiasa mengatasnamakan rakyat namun tidak memiliki jiwa kerakyatan dan tauladan bagi rakyatnya. Yang banyak terjadi karena hasrat kepentingan materi dan bertahan hidup bagi kemewahan diri dan sanak keluarganya.Semoga Tuhan Yang Maha Esa masih senantiasa setia menganugerahkan rahmat dan HidayahNya kepada kita semua, khususnya bagi para pemimpin kita. Amin.
No comments:
Post a Comment