NILAI-NILAI
KEPAHLAWANAN DALAM MEMBENTUK
KUALITAS KINERJA GURU
Oleh: Suryanto, S.Pd *
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum
seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri
kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforia-nya ternyata menyisakan luka
mendalam di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi hingga kini. Tindakan kekerasan
dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur,
anarkhisme dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya
kemandirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita.
Semangat kebangsaan, jiwa kepahlawanan, rela berkorban, saling bergotong royong di kalangan masyarakat kita mulai menurun.
Kita seperti telah kehilangan karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan
berabad-abad kita bangun. Pada kondisi yang seperti ini nampaknya pada moment
peringatah “Hari Pahlawan” kali ini menjadi menarik untuk mencoba kembali
menelaah kaitan antara pembelajaran sejarah dengan nilai-nilai kepahlawanan
Guru
adalah suatu profesi yang mulia kepadanya tempat peserta didik untuk bertanya,
dan kepadanyalah tempat peserta didik untuk menimba segala ilmu pengetahuan, sehingga
bila seseorang sudah memilih menjadi guru, konsekuensinya ia harus mau
mempersiapkan segala sesuatu yang dapat menunjang keprofesionalannya (Nana Sudjana, 1988 : 14). Kompetensi profesional berkaitan dengan
penguasaan guru tentang landasan kependidikan, bahan pengajaran (materi bidang
ilmu yang diampu), penguasaan proses pembelajaran, dan yang tak kalah penting
adalah menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur, akhlak mulia dan patriotisme
serta keteladanan.
Salah satu hal krusial yang perlu menjadi prioritas
kebijakan pendidikan pada saat ini adalah meningkatkan kapasitas dan integritas guru tidak saja sebagai pengajar namun
juga sebagai pendidik. Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor penyebab rendahnya
kapasitas dan integritas guru adalah berkaitan dengan manajemen lembaga
pendidikan, citra guru, gaji, fasilitas, dan lain sebagainya. Untuk itu sangat
perlu dilakukan evaluasi terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan masalah
tersebut yang melibatkan ahli pendidikan, sosiologi, ekonomi, dan psikologi.
Hasil evaluasi yang dilakukan dapat dijadikan dasar menentukan siapa diantara
guru-guru yang masih dianggap layak mengawal proses belajar-mengajar yang baik
dan mampu memberika suri tauladan yang baik pula.
Nilai-nilai
kepahlawanan yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru merupakan
ujung tombak dalam memberikan semangat dan motivasi, ilmu pengetahuan dan
pendidik dalam menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di
antara pluralisme atau
keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai yang mampu melahirkan
pahlawan-pahlawan perjuangan dan kemerdekaan bangsa. Konsep nasionalisme yang
dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman serta nilai-nilai
kepahlawanan akan menjadi embrio bagi tumbuhnya semangat kebangsaan, semangat
untuk mengharumkan nama bangsa dimata dunia. Dan tidak lagi menjadi bahan
cemoohan dan hinaan bagi bangsa-bangsa lain yang lebih maju.
Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa kesadaran
sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar
akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar
sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005).
Pembelajaran
sejarah yang disampaikan oleh guru dan disampaikan kepada para peserta didik
hendaknya dapat mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan
pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society yang demokratis dan bertanggungjawab kepada
masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991).
Hal yang pertama menuntut
pembelajaran sejarah yang disampaikan oleh guru tidak hanya menyajikan
pengetahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis,
mampu menarik kesimpulan, memahami makna
dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan. Sementara itu hal yang kedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada
pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, dan
aspek kemanusiaan lainnya.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang
mau dan mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulunya”. Dalam konteks
ini, sudahkan kita menjadi bangsa yang besar? Benarkah kita sebagai bangsa
sudah sangat perhatian dan menghargai para pahlawan pejuang bangsa yang
telah mengorbankan jiwa dan raganya
untuk kepentingan tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia?
Lalu apa
hubungannya antara nilai-nilai kepahlawanan dengan peningkatan kualitas kinerja
guru. Sudah tentu akan sangat berkaitan, mengapa tidak ? Karena guru adalah
’sang motivator’ dan guru adalah ’agen perubahan’. Dengan kinerja guru yang
berkualitas saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
yang besar, yang dihormati dan dihargai oleh bangsa-bangsa di dunia. Namun
timbul perenungan dalam hati kita para guru Indonesia. Bagaimana dengan kinerja
yang sudah kita lakukan hingga hari ini ? Apakah kita selaku guru sudah
maksimal dalam menjalan tupoksi-nya,
yang bekerja tidak semata untuk sekedar ’menggugurkan kewajiban’ namun lebih
dari itu mampukah kita memberikan ’yang
paling terbaik’ untuk kemajuan dan kesuksesan para peserta didik dan untuk
mencerdaskan generasi penerus bangsa dalam menerima tongkat estafet
kepemimpinan kelak dengan cerdas, baik dan benar.
Dengan
pertanyaan-pertanyaan ini kita pun sebagai guru menjadi ragu dan termangu,
apakah kita sudah termasuk bangsa yang menghargai sejarah perjuangan para
pahlawan kita sendiri. Meski guru juga dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa, namun sudahkah kita sudah benar-benar menjadi pahlawan atau minimal
tumbuhnya kesadaran kita selaku guru untuk mau dan dapat menghargai jasa para
pahlawan bangsanya, mengingat di antara guru masih banyak yang tidak mau untuk
melanjutkan sejarah perjuangan bangsa dengan cara meningkatkan semangat kerja
profesionalisme-nya sebagai seorang pendidik yang berjiwa nasionalis dan
memiliki semangat untuk memajukan bangsa Indonesia.
Pembelajaran
sejarah yang menggambarkan dan mendeskripsikan semangat untuk menang, semangat
pantang menyerah, dan semangat mensejajarkan eksistensinya sebagai bangsa yang
merdeka sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach, tetapi bagaimana para guru kembali menengok ke
belakang dari akar sejarah bangsa ini berdiri dengan mewujudkan proses
pembelajaran yang dapat menangkap dan menanamkan nilai-nilai kepahlawanan
bangsa ini di dalam merebut, mempertahankan, dan meneruskan hasil perjuangan
para pahlawan kita yang telah gugur mendahului kita sehingga para guru mampu
unutuk mentransformasikan pesan-pesan yang tersurat dan tersirat di balik
realitas sejarah itu kepada peserta didik dan juga kepada dirinya sendiri.
Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara,
penanaman nilai-nilai kepahlawanan sebenarnya memiliki makna yang strategis
dalam meningkatkan semangat belajar dan semangat untuk maju tidak saja bagi
para peserta didik juga bagi guru selaku pendidik. Penanaman nilai-nilai kepahlawanan adalah suatu proses untuk
membantu mengembangkan potensi dan
kepribadian yang arif dan bermartabat
yang dapat mengembangkan potensi dirinya dan para peserta didiknya untuk
menjadi pribadi manusia yang patriotik, tanggung jawab, kerjasama, rela
berkorban, semangat juang, dan semangat untuk mengharumkan nama bangsa.
No comments:
Post a Comment